Thursday, June 3, 2010

Jual-Beli Gharar

Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah, al-khathr (pertaruhan) . Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-’aqibah).Sedangkan menurut Syaikh As-Sa’di, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian.

Sehingga , dari penjelasan ini, dapat diambil pengertian, yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan; pertaruhan, atau perjudian.

HUKUM GHARAR

Dalam syari’at Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi.

“Artinya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar.”

Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara batil. Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut dalam firmanNya.

“Artinya: Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 188)

“Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. An-Nisaa: 29)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, dasar pelarangan jual beli gharar ini adalah larangan Allah dalam Al-Qur’an, yaitu (larangan) memakan harta orang dengan batil. Begitu pula dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau melarang jual beli gharar ini.

Pelarangan ini juga dikuatkan dengan pengharaman judi, sebagaimana ada dalam firman Allah.

“Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. Al-Maidah: 90)

Sedangkan jula-beli gharar, menurut keterangan Syaikh As-Sa’di, termasuk dalam katagori perjudian. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sendiri menyatakan, semua jual beli gharar, seperti menjual burung di udara, onta dan budak yang kabur, buah-buahan sebelum tampak buahnya, dan jual beli al-hashaah, seluruhnya termasuk perjudian yang diharamkan Allah di dalam Al-Qur’an.

HIKMAH LARANGAN JUAL BELI GHARAR

Diantara hikmah larangan julan beli ini adalah, karena nampak adanya pertaruhan dan menimbulkan sikap permusuhan pada orang yang dirugikan. Yakni bisa menimbulkan kerugian yang besar kepada pihak lain.Larangan ini juga mengandung maksud untuk menjaga harta agar tidak hilang dan menghilangkan sikap permusuhan yang terjadi pada orang akibat jenis jual beli ini.

PENTINGNYA MENGENAL KAIDAH GHARAR

Dalam masalah jual beli, mengenal kaidah gharar sangatlah penting, karena banyak permasalahan jual-beli yang bersumber dari ketidak jelasan dan adanya unsur taruhan di dalamnya. Imam Nawawi mengatakan: “Larangan jual beli gharar merupakan pokok penting dari kitab jual-beli. Oleh karena itu Imam Muslim menempatkannya di depan. Permasalahan yang masuk dalam jual-beli jenis ini sangat banyak, tidak terhitung.” 


JENIS GHARAR

Dilihat dari peristiwanya, jual-beli gharar bisa ditinjau dari tiga sisi.

Pertama: Jual-beli barang yang belum ada (ma’dum), seperti jual beli habal al habalah (janin dari hewan ternak).

Kedua: Jual beli barang yang tidak jelas (majhul), baik yang muthlak, seperti pernyataan seseorang: “Saya menjual barang dengan harga seribu rupiah,” tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas, atau seperti ucapan seseorang: “Aku jual mobilku ini kepadamu dengan harga sepuluh juta,” namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa juga karena ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang: “Aku jual tanah kepadamu seharga lima puluh juta”, namun ukuran tanahnya tidak diketahui.

Ketiga: Jual-beli barang yang tidak mampu diserah terimakan. Seperti jual beli budak yang kabur, atau jual beli mobil yang dicuri.Ketidak jelasan ini juga terjadi pada harga, barang dan pada akad jual belinya.

Ketidak jelasan pada harga dapat terjadi karena jumlahnya, seperti segenggam Dinar. Sedangkan ketidak jelasan pada barang, yaitu sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun ketidak-jelasan pada akad, seperti menjual dengan harga 10 Dinar bila kontan dan 20 Dinar bila diangsur, tanpa menentukan salah satu dari keduanya sebagai pembayarannya.

Syaikh As-Sa’di menyatakan: “Kesimpulan jual-beli gharar kembali kepada jual-beli ma’dum (belum ada wujudnya), seperti habal al habalah dan as-sinin, atau kepada jual-beli yang tidak dapat diserahterimakan, seperti budak yang kabur dan sejenisnya, atau kepada ketidak-jelasan, baik mutlak pada barangnya, jenisnya atau sifatnya.”

GHARAR YANG DIPERBOLEHKAN

Jual-beli yang mengandung gharar, menurut hukumnya ada tiga macam.

[1]. Yang disepakati larangannya dalam jual-beli, seperti jual-beli yang belum ada wujudnya (ma’dum).

[2]. Disepakati kebolehannya, seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan ukuran serta hakikat sebenarnya tidak diketahui. Hal ini dibolehkan karena kebutuhan dan karena merupakan satu kesatuan, tidak mungkin lepas darinya.

Imam An-Nawawi menyatakan, pada asalnya jual-beli gharar dilarang dengan dasar hadits ini. Maksudnya adalah, yang secara jelas mengandung unsur gharar, dan mungkin dilepas darinya. Adapun hal-hal yang dibutuhkan dan tidak mungkin dipisahkan darinya, seperti pondasi rumah, membeli hewan yang mengandung dengan adanya kemungkinan yang dikandung hanya seekor atau lebih, jantan atau betina. Juga apakah lahir sempurna atau cacat. Demikian juga membeli kambing yang memiliki air susu dan sejenisnya. Menurut ijma’, semua (yang demikian) ini diperbolehkan. Juga, para ulama menukilkan ijma tentang bolehnya barang-barang yang mengandung gharar yang ringan. Di antaranya, umat ini sepakat mengesahkan jual-beli baju jubah mahsyuwah.”

Ibnul Qayyim juga mengatakan: “Tidak semua gharar menjadi sebab pengharaman. Gharar, apabila ringan (sedikit) atau tidak mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual beli. Karena, gharar (ketidak jelasan) yang ada pada pondasi rumah, dalam perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus sebagiannya saja, tidak mungkin lepas darinya. Demikian juga gharar yang ada dalam hammam (pemandian) dan minuman dari bejana dan sejenisnya, adalah gharar yang ringan. Sehingga keduanya tidak mencegah jual beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang banyak, yang mungkin dapat dilepas darinya.”

Dalam kitab lainnya, Ibnul Qayyim menyatakan, terkadang, sebagian gharar dapat disahkan, apabila hajat mengharuskannya. Misalnya, seperti ketidaktahuan mutu pondasi rumah dan membeli kambing hamil dan yang masih memiliki air susu. Hal ini disebabkan, karena pondasi rumah ikut dengan rumah, dan karena hajat menuntutnya, lalu tidak mungkin melihatnya.

Dari sini dapat disimpulkan, gharar yang diperbolehkan adalah gharar yang ringan, atau ghararnya tidak ringan namun tidak dapat melepasnya kecuali dengan kesulitan. Oleh karena itu, Imam An-Nawawi menjelaskan bolehnya jual beli yang ada ghararnya apabila ada hajat untuk melanggar gharar ini, dan tidak mungkin melepasnya kecuali dengan susah, atau ghararnya ringan.

[3]. Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua? Misalnya ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam di tanah, seperti wortel, kacang tanah, bawang dan lain-lainnya.

Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun masih berbeda dalam menghukuminya. Adanya perbedaan ini, disebabkan sebagian mereka –diantaranya Imam Malik- memandang ghararnya ringan, atau tidak mungkin dilepas darinya dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga memperbolehkannya. Dan sebagian yang lain di antaranya Imam Syafi’i dan Abu Hanifah- memandang ghararnya besar, dan memungkinkan untuk dilepas darinya, shingga mengharamkannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim merajihkan pendapat yang membolehkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan: “Dalam permasalahan ini, madzhab Imam Malik adalah madzhab terbaik, yaitu diperbolehkan melakukan jual-beli perihal ini dan semua yang dibutuhkan, atau sedikit ghararnya; sehingga memperbolehkan jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah, seperti wortel, lobak dan sebagainya”

Sedangkan Ibnul Qayyim menyatakan, jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah tidak memiliki dua perkara tersebut, karena ghararnya ringan, dan tidak mungkin di lepas.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian tersebut di atas, menjadi jelaslah, bahwa tidak semua jual-beli yang mengandung unsur gharar dilarang. Permasalahan ini, sebagaimana nampak dari pandangan para ulama, karena permasalahan yang menyangkut gharar ini sangat luas dan banyak. Dengan mengetahui pandangan para ulama, mudah-mudahan Allah membimbing kita dalam tafaqquh fiddin, dan lebih dalam mengenai persoalan halal dan haram.



Sumber: http://ekonomisyariat.com/ [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]

Read More..

Wednesday, May 19, 2010

jual beli bayi dalam kandungan

PALEMBANG, SURYA, Bisnis jual beli bayi secara bebas berlangsung di kawasan Sirnaraga, Kejawen, Kelurahan Pipareja, Kecamatan Kemuning. Seorang bayi berumur sebulan sampai setahun dihargai Rp1,5 juta-Rp5 juta. Bahkan, janin dalam rahim atau kandungan pun bisa dipesan, asal pembeli berani menanggung biaya perawatan dan persalinan.


Para peminat janin itu, ada yang berasal dari Jawa Timur, di antaranya dari Malang. Serta daerah-daerah lain di Jawa seperti Jakarta selain dari Sumatra.

Ada tiga modus jual beli bayi tersebut. Pertama pesan janin dalam kandungan; kedua beli orok yang baru lahir dan langsung berurusan dengan orangtua bayi; atau ketiga melalui makelar. Khusus makelar, ada dua jasa yang dapat dipakai. Tenaga warga setempat atau seorang bidan yang membuka praktik di Jl Sekolahan, tidak jauh dari Jl Sirnaraga.

Harga yang dipatok para makelar ini tentu lebih tinggi karena mereka meminta uang jasa. Jika bertransaksi dengan orangtua bayi harganya Rp 1,5 juta-Rp2 juta, di tangan makelar harga seorang bayi melambung tinggi mencapai Rp5 juta.

Informasi tentang bisnis jual beli bayi itu diterima Sriwijaya Post (koran satu grup dengan Surya) dari seorang pembaca.Berbekal informasi itulah, dilakukanlah peliputan investigasi pada Kamis (13/3) lalu.

Wati (bukan nama sebenarnya), salah seorang warga di RT 25 RW 07 yang didatangi tim investigasi, langsung menawarkan janin yang sedang dikandung tetangganya. Awalnya, ia mengaku tidak tahu, tetapi setelah diyakinkan, Wati terbuka juga meski masih terkesan hati-hati dan menolak mengantarkan langsung ke rumah tetangga yang dimaksud.

“Jangan sekarang. Tinggalkan saja nomor telepon, nanti saya hubungi,” kata Wati yang putra bungsunya, Mul (saat ini berusia 3 tahun), sempat ditawar pembeli ketika berusia sebulan. “Tapi tidak jadi. Saya tidak tega berpisah dengan Mul,” imbuh ibu yang telah

memiliki enam anak ini. Suaminya menganggukkan kepala, mengiyakan perkataan Wati.

Dari investigasi terungkap bahwa transaksi bayi di Sirnaraga, Kel. Pipareja, Kec. Kemuning, Palembang (Sumatra Selatan) itu ternyata sudah jadi rahasia umum.Bahkan, ada sindikat penjualan bayi yang operasinya sampai ke Pulau Jawa.

Rosida, 53, warga Sirnaraga yang lain, menuturkan bahwa transaksi jual beli anak mulai marak sejak dua tahun yang lalu. Yakni saat Oja, seorang warga setempat, menjual putra bungsunya.

Rosida adalah makelar jual beli bayi di kawasan itu. Demikian pula Maryani yang saat itu bersamanya. Sebagai makelar, mereka menerima order dari orang-orang yang butuh anak. Dari mulut ke mulut sindikat penjualan bayi itu beredar. Belakangan sampai ke Pulau Jawa. Menurut Wati, info bisa sampai ke Malang melalui orang Malang yang ada di Palembang.

Mereka menyebut sedikitnya enam nama ibu rumah tangga yang pernah menjual bayinya. Satu nama yang paling sering disebut ternyata adalah Wati, yang pertama kali ditemui tim investigasi kami.

Menurut Hindun, rekan Rosida, transaksi jual beli bayi tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka. Janin dapat dipesan dalam kandungan dengan syarat si pembeli bersedia membayar biaya perawatan, makan, check up ke bidan, dan biaya persalinan. Pada akhirnya, ketika lahir pembeli tinggal membayar Rp 1,5 juta.

“Masalah harga tidak usah dipikirkan. Asal cocok, jadi. Kisarannya ya tidak lebih dari Rp 5 juta. Di sini banyak ibu yang tidak sanggup mengurus anaknya,” kata Hindun.

Desakan Ekonomi

Warga mengungkapkan, ibu-ibu yang sedang mengandung biasanya didatangi oleh makelar bayi untuk dibantu penjualannya. Dan, para peminat umumnya disarankan untuk memesan bayi pada salah seorang bidan yang membuka praktik di kawasan itu.

Seorang ibu yang baru melahirkan dan hendak menjual anaknya, biasanya memang akan menitip pesan pada sang bidan kalau ada pembeli. Untuk bayi, transaksi dilakukan atas dasar kecocokan harga setelah pembeli melihat kondisi fisik bayi. Perjanjian dibubuhkan di atas kertas dan disaksikan ketua RT setempat serta sejumlah saksi.

Setelah dibeli, sang ibu tidak boleh menuntut untuk mengambil anaknya lagi.

“Apa Masnah saja? Kalau hamil pasti anaknya mau dijual,” ucap Rosida yang didampingi suaminya saat tim investigasi dari grup Surya mendatangi rumahnya dan pura-pura ingin membeli bayi. Suami istri ini mengatakan, butuh kesabaran bila menginginkan bayi, dan lagi-lagi meminta kami meninggalkan nomor telepon.

“Wah terlambat, kalau bulan-bulan kemarin banyak. Sekarang belum ada yang mau jual. Saya akan carikan bayi seperti yang diminta,” ujar Rosida.

Tapi, tiba-tiba Hindun menawarkan janin yang masih berada dalam kandungan keponakannya, Marda. Tapi, Marda yang sedang hamil lima bulan saat ini sedang mendekam dalam LP Wanita Pakjo karena tertangkap tangan menjalani bisnis narkoba. Marda dihukum selama enam tahun.

Hindun menawarkan janin Marda seharga Rp1,5 juta dan meminta tenggat waktu karena dirinya masih akan membicarakannya dengan Marda. “Tunggu empat hari lagi, nanti saya hubungi. Marda itu anaknya sudah banyak, ada sepuluh orang. Suaminya kerja serabutan,” kata Hindun. Hindun berani menjamin untuk mempertemukan dengan Marda di dalam penjara.

“Siapkan saja uangnya. Nanti biaya untuk persalinannya dan uang makan selama empat bulan hamil juga,” katanya.

Menurut Hindun dan Rosida, jual beli bayi itu terjadi karena desakan keadaan ekonomi.

Keluarga penjual bayi umumnya hidup pas-pasan dan tidak sanggup lagi membiayai ongkos hidup anak yang baru saja dilahirkan.

Data terakhir di kantor Kelurahan Pipareja, ada 14.927 jiwa yang mendiami wilayah yang terbagi dalam 37 RT itu, dengan luas total kawasan 200 hektare. Sebanyak 40 persen warga bekerja sebagai buruh harian lepas.

Dari 3.593 kepala keluarga, peserta keluarga berencana (KB) aktif di sana, menurut jenis alat kontrasepsi, hanya tercatat sebanyak 1.006 KK. Angka kelahiran bulan Februari lalu, yang tercatat di kelurahan, sebanyak 7 orang. Namun, diperkirakan angka kelahiran

bayi lebih dari itu, karena warga enggan melapor ke kelurahan.

“Kebanyakan mereka langsung bikin akta lewat bidan. Saya belum dengar kalau ada jual beli bayi seperti itu. Yang jelas, itu ilegal dan pasti mereka diam-diam,” kata Aris Satria, Plt Lurah Kelurahan Pipareja.

Read More..

Hukum Jual-Beli Barang dgn Sistem Kredit

penulis Al Ustadz Lukman Baabduh
Syariah Problema Anda 29 - Juni - 2003 14:54:59

Kepada ustadz saya mempunyai pertanyaan dan mohon penjelasannya.
Bagaimana hukum jual-beli barang dgn sistem kredit? Apakah sama dgn riba? Demikian pertanyaan saya atas jawaban ustadz saya ucapkan jazakallahu khairan katsiran.


Halimah
asy-syauqiyyah@plasa.com

Dijawab oleh:
Al Ustadz Luqman Baabduh
Jual beli dgn sistem kredit yg ada di masyarakat digolongkan menjadi dua jenis:
Jenis pertama kredit dgn bunga. Ini hukum haram dan tdk ada keraguan dlm hal keharaman krn jelas-jelas mengandung riba.
Jenis kedua kredit tanpa bunga. Para fuqaha mengistilahkan kredit jenis ini dgn Bai’ At Taqsiith. Sistem jual beli dgn Bai’ At Taqsiith ini telah dikaji sejumlah ulama di antaranya:
As-Syaikh Nashirudin Al Albani

Dalam kitab As-Shahihah jilid 5 terbitan Maktabah Al Ma’arif Riyadh hadits no. 2326 tentang “Jual Beli dgn Kredit” beliau menyebutkan ada tiga pendapat di kalangan para ulama. Yang rajih adl pendapat yg tdk memperbolehkan menjual dgn kredit apabila harga berbeda dgn harga kontan . Hal ini sebagaimana disebutkan dlm hadits shahih dari Abi Hurairah yg diriwayatkan oleh An Nasa’i dan At Tirmidzi bahwa Rasulullah melarang transaksi jual beli dlm satu transaksi jual beli.

As Syaikh Al Albani menjelaskan maksud larangan dlm hadits tersebut adl larangan ada dua harga dlm satu transaksi jual beli seperti perkataan seorang penjual kepada pembeli: Jika kamu membeli dgn kontan mk harga sekian dan apabila kredit mk harga sekian .

Hal ini sebagaimana ditafsirkan oleh Simaak bin Harb dlm As Sunnah Ibnu Sirin dlm Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 hal. 137 no. 14630 Thoowush dlm Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 no. 14631 Ats Tsauri dlm Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 no. 14632 Al Auza’i sebagaimana disebutkan oleh Al Khaththaabi dlm Ma’alim As Sunan jilid 5 hal. 99 An Nasa’i Ibnu Hibban dlm Shahih Ibni Hibban jilid 7 hal. 225 dan Ibnul Atsir dlm Ghariibul Hadits.

Demikian pula dlm hadits yg diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dlm Al Mushonnaf Al Hakim dan Al Baihaqi dari Abi Hurairah bahwasa Rasulullah  bersabda:

“Barangsiapa yg menjual dgn 2 harga dlm 1 transaksi jual beli mk bagi harga yg lbh murah dari 2 harga tersebut atau riba.”

Misal seseorang menjual dgn harga kontan Rp 100.00000 dan kredit dgn harga Rp 120.00000. mk ia harus menjual dgn harga Rp 100.00000. Jika tdk mk ia telah melakukan riba.

Atas dasar inilah jual beli dgn sistem kredit dilarang dikarenakan jenis ini adl jenis jual beli dgn riba.

As-Syaikh Muqbil bin Hadi Al Waadi’i

Dalam kitab Ijaabatus Saailin hal. 632 pertanyaan no. 376 beliau menjelaskan bahwa hukum jual beli seperti tersebut di atas adl dilarang krn mengandung unsur riba. Dan beliau menasehatkan kepada tiap muslim utk menghindari cara jual beli seperti ini.

Hal ini sebagaimana disebutkan dlm hadits shahih dari Abi Hurairah yg diriwayatkan oleh An Nasa’i dan At Tirmidzi bahwa Rasulullah melarang transaksi jual beli dlm satu transaksi jual beli.

Namun beliau menganggap lemah hadits Abu Hurairah sebagaimana yg diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dlm Al Mushonnaf Al Hakim dan Al Baihaqi dari Abi Hurairah bahwasa Rasulullah  bersabda:

“Barangsiapa yg menjual dgn 2 harga dlm 1 transaksi jual beli mk bagi harga yg lbh murah dari 2 harga tersebut atau riba.”

Hal ini sebagaimana disebutkan beliau dlm kitab Ahaadiitsu Mu’allah Dzoohiruha As Shahihah hadits no.369.

Dalam perkara jual beli kredit ini kami nukilkan nasehat As-Syaikh Al Albani:

“Ketahuilah wahai saudaraku muslimin bahwa cara jual beli yg seperti ini yg telah banyak tersebar di kalangan pedagang di masa kita ini yaitu jual beli At Taqsiith dgn mengambil tambahan harga dibandingkan dgn harga kontan adl cara jual beli yg tdk disyari’atkan. Di samping mengandung unsur riba cara seperti ini juga bertentangan dgn ruh Islam di mana Islam didirikan atas pemberian kemudahan atas umat manusia dan kasih sayang terhadap mereka serta meringankan beban mereka sebagaimana sabda Rasulullah  yg diriwayatkan Al Imam Al Bukhari :

“Allah merahmati seorang hamba yg suka memberi kemudahan ketika menjual dan ketika membeli”

Dan kalau seandai salah satu dari mereka mau bertakwa kepada Allah menjual dgn cara kredit dgn harga yg sama sebagaimana harga kontan mk hal itu lbh menguntungkan bagi juga dari sisi keuntungan materi. Karena dgn itu menyebabkan suka orang membeli dari dan diberkahi oleh Allah pada rejeki sebagaimana firman Allah:

Demikianlah diberi pengajaran dgn itu orang yg beriman kepada Allah dan hari Akhir. Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi jalan keluar. Dan memberi rezeki dari arah yg tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan . Sesungguh Allah melaksanakan urusan . Sesungguh Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.

Demikian nasehat dari As-Syaikh Al Albani. Sebagai kesimpulan kami nasehatkan kepada kaum Muslimin hendak memilih cara kontan jika menghadapi sistem jual beli semacam ini.

Wallahu a’lamu bisshawaab.

Read More..

Jual Beli Barang Bekas

Tumpukan barang bekas, barang yang sudah tidak dipakai lagi atau barang yang tidak lagi kita sukai dalam gudang di rumah bisa jadi sumber masalah. Paling tidak jadi sarang tikus. Bikin nggak betah deh.

Buat kita mungkin barang-barang yang ada digudang nggak ada artinya. Tapi bisa jadi buat orang lain masih berharga dan masih layak digunakan.

Kenapa nggak kita jual aja tuh barang-barang yang numpuk di gudang? Tapi siapa yang mau beli? Terus di mana mesti promosi?

Read More..

Hukum Jual Beli

Pengertian Jual Beli

Menjual adalah memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga, sedangkan membeli yaitu menerimanya.
Allah telah menjelaskan dalam kitab-Nya yang mulia demikian pula Nabi shalallahu 'alaihi wasallam dalam sunnahnya yang suci beberapa hukum muamalah, karena butuhnya manusia akan hal itu, dan karena butuhnya manusia kepada makanan yang dengannya akan menguatkan tubuh, demikian pula butuhnya kepada pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan sebagainya dari berbagai kepentingan hidup serta kesempurnaanya.

Hukum Jual Beli
Jual beli adalah perkara yang diperbolehkan berdasarkan al Kitab, as Sunnah, ijma serta qiyas :

Allah Ta'ala berfirman : " Dan Allah menghalalkan jual beli Al Baqarah"
Allah Ta'ala berfirman : " tidaklah dosa bagi kalian untuk mencari keutaman (rizki) dari Rabbmu " (Al Baqarah : 198, ayat ini berkaitan dengan jual beli di musim haji)

Dan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda "Dua orang yang saling berjual beli punya hak untuk saling memilih selama mereka tidak saling berpisah, maka jika keduianya saling jujur dalam jual beli dan menerangkan keadaan barang-barangnya (dari aib dan cacat), maka akan diberikan barokah jual beli bagi keduanya, dan apabila keduanya saling berdusta dan saling menyembunyikan aibnya maka akan dicabut barokah jual beli dari keduanya" (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i, dan shahihkan oleh Syaikh Al Bany dalam shahih Jami no. 2886)


Dan para ulama telah ijma (sepakat) atas perkara (bolehnya) jual beli, adapun qiyas yaitu dari satu sisi bahwa kebutuhan manusia mendorong kepada perkara jual beli, karena kebutuhan manusia berkaitan dengan apa yang ada pada orang lain baik berupa harga atau sesuaitu yang dihargai (barang dan jasa) dan dia tidak dapat mendapatkannya kecuali dengan menggantinya dengan sesuatu yang lain, maka jelaslah hikmah itu menuntut dibolehkannya jual beli untuik sampai kepada tujuan yang dikehendaki. .


Akad Jual Beli :

Akad jual beli bisa dengan bentuk perkataan maupun perbuatan :

Bentuk perkataan terdiri dari Ijab yaitu kata yang keluar dari penjual seperti ucapan " saya jual" dan Qobul yaitu ucapan yang keluar dari pembeli dengan ucapan "saya beli "

Bentuk perbuatan yaitu muaathoh (saling memberi) yang terdiri dari perbuatan mengambil dan memberi seperti penjual memberikan barang dagangan kepadanya (pembeli) dan (pembeli) memberikan harga yang wajar (telah ditentukan).

Dan kadang bentuk akad terdiri dari ucapan dan perbuatan sekaligus :

Berkata Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah rahimahullah : jual beli Muathoh ada beberapa gambaran

Penjual hanya melakukan ijab lafadz saja, dan pembeli mengambilnya seperti ucapan " ambilah baju ini dengan satu dinar, maka kemudian diambil, demikian pula kalau harga itu dengan sesuatu tertentu seperti mengucapkan "ambilah baju ini dengan bajumu", maka kemudian dia mengambilnya.

Pembeli mengucapkan suatu lafadz sedang dari penjual hanya memberi, sama saja apakah harga barang tersebut sudah pasti atau dalam bentuk suatu jaminan dalam perjanjian.(dihutangkan)

Keduanya tidak mengucapkan lapadz apapun, bahkan ada kebiasaan yaitu meletakkan uang (suatu harga) dan mengambil sesuatu yang telah dihargai.

Syarat Sah Jual Beli

Sahnya suatu jual beli bila ada dua unsur pokok yaitu bagi yang beraqad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya. Adapun syarat tersebut adalah sbb :

Bagi yang beraqad :

Adanya saling ridha keduanya (penjual dan pembeli), tidak sah bagi suatu jual beli apabila salah satu dari keduanya ada unsur terpaksa tanpa haq (sesuatu yang diperbolehkan) berdasarkan firman Allah Ta'ala " kecuali jika jual beli yang saling ridha diantara kalian ", dan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda "hanya saja jual beli itu terjadi dengan asas keridhan" (HR. Ibnu Hiban, Ibnu Majah, dan selain keduanya), adapun apabila keterpaksaan itu adalah perkara yang haq (dibanarkan syariah), maka sah jual belinya. Sebagaimana seandainya seorang hakim memaksa seseorang untuk menjual barangnya guna membayar hutangnya, maka meskipun itu terpaksa maka sah jual belinya.

Yang beraqad adalah orang yang diperkenankan (secara syariat) untuk melakukan transaksi, yaitu orang yang merdeka, mukallaf dan orang yang sehat akalnya, maka tidak sah jual beli dari anak kecil, bodoh, gila, hamba sahaya dengan tanpa izin tuannya.

(catatan : jual beli yang tidak boleh anak kecil melakukannya transaksi adalah jual beli yang biasa dilakukan oleh orang dewasa seperti jual beli rumah, kendaraan dsb, bukan jual beli yang sifatnya sepele seperti jual beli jajanan anak kecil, ini berdasarkan pendapat sebagian dari para ulama pent)

Yang beraqad memiliki penuh atas barang yang diaqadkan atau menempati posisi sebagai orang yang memiliki (mewakili), berdasarkan sabda Nabi kepada Hakim bin Hazam " Janganlah kau jual apa yang bukan milikmu" (diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Tirmidzi dan dishahihkan olehnya). Artinya jangan engkau menjual seseuatu yang tidak ada dalam kepemilikanmu.

Berkata Al Wazir Ibnu Mughirah Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa tidak boleh menjual sesuatu yang bukan miliknya, dan tidak juga dalam kekuasaanya, kemudian setelah dijual dia beli barang yang lain lagi (yang semisal) dan diberikan kepada pemiliknya, maka jual beli ini bathil

Bagi (Barang) yang diaqadi :

Barang tersebut adalah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya secara mutlaq, maka tidak sah menjual sesuatu yang diharamkan mengambil manfaatnya seperti khomer, alat-alat musik, bangkai berdasarkan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam " Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual bangkai, khomer, dan patung (Mutafaq alaihi). Dalam riwayat Abu Dawud dikatakan " mengharamkan khomer dan harganya, mengharamkan bangkai dan harganya, mengharamkan babi dan harganya", Tidak sah pula menjual minyak najis atau yang terkena najis, berdasarkan sabda Nabi " Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu (barang) mengharamkan juga harganya ", dan di dalam hadits mutafaq alaihi: disebutkan " bagaimana pendapat engkau tentang lemak bangkai, sesungguhnya lemak itu dipakai untuk memoles perahu, meminyaki (menyamak kulit) dan untuk dijadikan penerangan", maka beliau berata, " tidak karena sesungggnya itu adalah haram.".

Yang diaqadi baik berupa harga atau sesuatu yang dihargai mampu untuk didapatkan (dikuasai), karena sesuatu yang tidak dapat didapatkan (dikuasai) menyerupai sesuatu yang tidak ada, maka tidak sah jual belinya, seperti tidak sah membeli seorang hamba yang melarikan diri, seekor unta yang kabur, dan seekor burung yang terbang di udara, dan tidak sah juga membeli barang curian dari orang yang bukan pencurinya, atau tidak mampu untuk mengambilnya dari pencuri karena yang menguasai barang curian adalah pencurinya sendiri... .

Barang yang diaqadi tersebut diketahui ketika terjadi aqad oleh yang beraqad, karena ketidaktahuan terhadap barang tersebut merupakan suatu bentuk penipuan, sedangkan penipuan terlarang, maka tidak sah membeli sesuatu yang dia tidak melihatnya, atau dia melihatnya akan tetapi dia tidak mengetahui (hakikat) nya. Dengan demikian tidak boleh membeli unta yang masih dalam perut, susu dalam kantonggnya. Dan tidak sah juga membeli sesuatu yang hanya sebab menyentuh seperti mengatakan "pakaian mana yang telah engkau pegang, maka itu harus engkau beli dengan (harga) sekian " Dan tidak boleh juga membeli dengam melempar seperti mengatakan "pakaian mana yang engaku lemparkan kepadaku, maka itu (harganya0 sekian. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radiallahu anhu bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wasallam melarang jual beli dengan hasil memegang dan melempar" (mutafaq alaihi). Dan tidak sah menjual dengan mengundi (dengan krikil) seperti ucapan " lemparkan (kerikil) undian ini, maka apabila mengenai suatu baju, maka bagimu harganya adalah sekian.

Read More..